Pedagang Keluhkan Beban Retribusi di Tengah Sepinya Pembeli
Puluhan pedagang Pasar Jombokan di Kulon Progo mendesak keringanan retribusi setelah tarif naik tiga kali lipat, sementara kondisi pasar makin sepi karena pergeseran belanja ke platform daring.
Ringkasan Artikel:
- Pedagang Pasar Jombokan tuntut keringanan retribusi setelah tarif melonjak
- Audiensi dengan DPRD diwarnai keluhan pedagang soal beban kios bulanan
- Disdag akui Jombokan hanya dapat potongan 20 persen berbeda dari pasar lain
- Pemerintah sepakat beri keringanan lebih besar dengan syarat tertib bayar
- Pedagang berharap dukungan nyata agar pasar bisa bersaing di era digital
Pedagang Pasar Jombokan Datangi Dewan Sampaikan Keluhan Tarif
Puluhan pedagang mendatangi gedung DPRD Kulon Progo pada Senin siang membawa aspirasi. Mereka merasa kenaikan retribusi pasar yang berlaku sejak awal tahun terlalu berat untuk ditanggung. Suasana audiensi berlangsung penuh keluhan dan nada kecewa.
Humas Asosiasi Pedagang Pasar Jombokan Tri Hadi Sutarno mengatakan tarif naik dari Rp58 ribu menjadi Rp162 ribu per kios per bulan. Ia menilai kenaikan lebih dari tiga kali lipat itu tidak masuk akal. Kondisi pasar yang makin sepi membuat pedagang kian terjepit.
Tri menegaskan pedagang bukan menolak membayar, namun meminta kebijakan yang lebih manusiawi. Menurutnya beban retribusi yang melonjak tidak sepadan dengan pendapatan yang merosot. Ia menyebut tanpa perubahan, banyak kios terancam gulung tikar.
Tarif Retribusi Naik Tiga Kali Lipat Bikin Pedagang Makin Tertekan
Pedagang menilai tarif baru tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Pasar hanya ramai di hari tertentu, selebihnya kios lengang. Kenaikan retribusi justru dianggap menambah luka di tengah turunnya daya beli masyarakat.
Tri menjelaskan pemerintah memang memberi keringanan 20 persen, tetapi hal itu belum cukup. Pedagang berharap potongan lebih besar agar usaha tetap bertahan. Ia menekankan bahwa keberpihakan pemerintah sangat menentukan napas ekonomi lokal.
Bagi pedagang, pasar tradisional bukan sekadar tempat mencari nafkah. Pasar juga ruang sosial tempat warga saling berinteraksi. Tarif yang terlalu tinggi dikhawatirkan akan membuat kios tutup, sehingga denyut sosial di pasar pun ikut hilang.
Disdag Akui Perbedaan Aturan Keringanan di Tiap Pasar Tradisional
Sekretaris Dinas Perdagangan Kulon Progo Roehadi Goenoeng mengakui adanya perbedaan keringanan retribusi. Pasar Jombokan hanya mendapat potongan 20 persen sementara beberapa pasar lain bisa sampai 50 persen. Hal itu menimbulkan rasa tidak adil.
Goenoeng menyebut kebijakan itu dibuat untuk menjaga target penerimaan daerah. Pasar Jombokan beroperasi setiap hari sehingga dianggap mampu menghasilkan lebih. Namun, ia tidak menampik kenyataan bahwa keramaian hanya terjadi pada hari pasaran.
Setelah mendengar desakan pedagang, Goenoeng akhirnya menyanggupi tuntutan agar keringanan diperbesar. Ia menekankan persetujuan itu berlaku dengan syarat pedagang tetap disiplin membayar. Kompromi ini memberi secercah harapan bagi pedagang.
Pasar Tradisional Makin Terdesak oleh Arus Belanja Online Harian
Sepinya Pasar Jombokan tidak lepas dari maraknya belanja daring. Banyak warga kini lebih memilih memesan barang lewat gawai daripada datang langsung ke kios. Pergeseran ini membuat pedagang kehilangan sebagian besar pelanggan tetap.
Tri menyebut hanya hari pasaran yang masih ramai dikunjungi pembeli. Di luar itu, pendapatan nyaris tidak menutup ongkos. Menurutnya tanpa dukungan promosi dan revitalisasi, pasar tradisional akan semakin ditinggalkan.
Kondisi ini menggambarkan tantangan besar bagi ekonomi lokal. Pasar tradisional bukan hanya urusan dagang, tetapi juga budaya. Pedagang berharap keringanan retribusi memberi waktu untuk mencari cara beradaptasi di tengah arus digitalisasi.
Kesepakatan Baru Dibuka Pedagang Minta Dukungan Lebih dari Tarif
Bagi pedagang, persetujuan keringanan hanyalah awal. Masalah daya saing pasar masih belum terpecahkan. Mereka berharap pemerintah tidak hanya fokus pada angka retribusi, tetapi juga langkah nyata agar pasar kembali hidup.
Roehadi menegaskan pihaknya berkomitmen mendengar suara pedagang. Ia menyebut pemerintah daerah harus menyeimbangkan kebutuhan pendapatan dengan keberlangsungan pasar. Menurutnya kebijakan tidak bisa hanya berhenti di angka nominal.
Pedagang meminta dukungan dalam bentuk program promosi, perbaikan fasilitas, hingga strategi menghadapi belanja daring. Mereka percaya pasar tradisional bisa bertahan, asalkan pemerintah hadir lebih dari sekadar memberi potongan tarif.





